Kebijakan Pemerintah yang mengangkat tenaga honorer menjadi PNS menurut Prof. Dr. Agus Dwiyanto merupakan kemunduran dalam reformasi birokrasi. Dalam agenda reformasi birokrasi, yang diperlukan adalah perampingan birokrasi, bukan malah menambah jumlah pegawai dari tenaga honorer yang kualitasnya masih dipertanyakan. Sangat boleh jadi, mereka yang diangkat sebagai tenaga honorer adalah hasil dari kolusi selama 30 tahun lebih.
Bukan berarti Pemerintah tidak memerlukan tenaga pegawai, namun proses rekrutmen harus memenuhi strandar kualifikasi tertentu. “Memang kebijakan merampingkan birokrasi merupakan kebijakan yang tidak populer, namun dalam rangka peningkatan sistem pelayanan publik, hal ini justru mutlak dilakukan,” ujar Prof Agus Dwiyanto, dalam diskusi RUU Pelayanan Publik, Jumat (16/3) di Gedung Magister Studi Kebijkanan UGM.
Tambah Agus, selama ini masyarakat merasa terkuras energi dan waktunya hanya karena ingin mengurus kebutuhannya dengan mengikuti proses birokrasi dan pelayanan yang sangat rumit dan njelimet. “Prosedur pelayanan harus melewati tingkat RT, RW, Lurah, Camat hingga Kabupaten lalu ke Instansi yang berwenang. Bahkan, petugas pelayanan pun harus mengurusi sesuatu yang tidak terlalu penting dan tidak pernah sampai tuntas dalam satu kotak birokrasi, karena instansi yang satu dengan yang lain diharuskan saling koordinasi dan saling mengawasi,” kata dosen Isipol UGM ini.
Midset yang salah selama ini telah menempatkan birokrasi penyelenggara pelayanan lebih sebagai alat kontrol terhadap perilaku warga (moral hazards) daripada sebagai alat melayanai kebutuhan masayarakat. Mindset ini juga telah mendorong birokrasi pemerintah lebih mengembangkan orientasi pada kekuasaan dan kontrol dari pada orientasi pada warga pengguna atau masyarakat luas. Akibatnya, prosedur pelayanan publik menjadi sangat panjang, hirarkis, dan kompleks sehingga tidak mudah diakses secara wajar oleh para penggunanya.
Untuk itu kata Agus, hal yang dapat dilakuakan untuk memeprbaiki sistem pelayanan publik adalah pemisahanan hirarkis birokrasi dengan hirarki pelayanan dan mengalokasikan kewenangan untuk mengelola satu urusan pemerintahan kepada satu satuan birokrasi pelayanan secara utuh.
“Seperti di luar negeri, sistem palayanan satu atap dengan berbasis teknologi Informasi sudah lama dilakukan. Pemerintah Daerah Sragen sudah melakukan itu dan peraturannya telah dimasukkan dalam aturan perda, namun ironisnya Pemerintah Pusat malah tertinggal jauh dari daerah, dan sekarang baru menyiapkan draft RUU Pelayanan Publik yang isinya pun masih tertinggal jauh dengan kebutuhan dinamika masyarakat,” ungkap Agus (Humas UGM).
Bukan berarti Pemerintah tidak memerlukan tenaga pegawai, namun proses rekrutmen harus memenuhi strandar kualifikasi tertentu. “Memang kebijakan merampingkan birokrasi merupakan kebijakan yang tidak populer, namun dalam rangka peningkatan sistem pelayanan publik, hal ini justru mutlak dilakukan,” ujar Prof Agus Dwiyanto, dalam diskusi RUU Pelayanan Publik, Jumat (16/3) di Gedung Magister Studi Kebijkanan UGM.
Tambah Agus, selama ini masyarakat merasa terkuras energi dan waktunya hanya karena ingin mengurus kebutuhannya dengan mengikuti proses birokrasi dan pelayanan yang sangat rumit dan njelimet. “Prosedur pelayanan harus melewati tingkat RT, RW, Lurah, Camat hingga Kabupaten lalu ke Instansi yang berwenang. Bahkan, petugas pelayanan pun harus mengurusi sesuatu yang tidak terlalu penting dan tidak pernah sampai tuntas dalam satu kotak birokrasi, karena instansi yang satu dengan yang lain diharuskan saling koordinasi dan saling mengawasi,” kata dosen Isipol UGM ini.
Midset yang salah selama ini telah menempatkan birokrasi penyelenggara pelayanan lebih sebagai alat kontrol terhadap perilaku warga (moral hazards) daripada sebagai alat melayanai kebutuhan masayarakat. Mindset ini juga telah mendorong birokrasi pemerintah lebih mengembangkan orientasi pada kekuasaan dan kontrol dari pada orientasi pada warga pengguna atau masyarakat luas. Akibatnya, prosedur pelayanan publik menjadi sangat panjang, hirarkis, dan kompleks sehingga tidak mudah diakses secara wajar oleh para penggunanya.
Untuk itu kata Agus, hal yang dapat dilakuakan untuk memeprbaiki sistem pelayanan publik adalah pemisahanan hirarkis birokrasi dengan hirarki pelayanan dan mengalokasikan kewenangan untuk mengelola satu urusan pemerintahan kepada satu satuan birokrasi pelayanan secara utuh.
“Seperti di luar negeri, sistem palayanan satu atap dengan berbasis teknologi Informasi sudah lama dilakukan. Pemerintah Daerah Sragen sudah melakukan itu dan peraturannya telah dimasukkan dalam aturan perda, namun ironisnya Pemerintah Pusat malah tertinggal jauh dari daerah, dan sekarang baru menyiapkan draft RUU Pelayanan Publik yang isinya pun masih tertinggal jauh dengan kebutuhan dinamika masyarakat,” ungkap Agus (Humas UGM).
No comments:
Post a Comment